Mengukir sejarah bukanlah berlari meninggalkan sejarah, tetapi menaiki tangga setapak demi setapak, menata jejak yang panjang berliku dan penuh makna.
Coba kita bayangkan ketika sedang berjalan di padang pasir menuju Gunung Bromo Pasuruan.
Setelah jauh melangkah dengan keringat menetes membasahi sekujur tubuh, dengan beban di pundak, di tangan, di punggung, kemudian kita toleh ke belakang.
Di sana akan terlihat jelas tapak kaki kita berjajar-jajar rapi mengikuti irama dan ritme perjalanan kita. Tentu saja kita tidak akan puas begitu saja melihat bekas tapak kaki kita, kaki terus melangkah maju menapaki sisa-sisa jarak mencapai puncak.
Meskipun hanya “sekadar berjalan”, ternyata bukanlah pekerjaan yang ringan, karena tantangan di sepanjang jalan membutuhkan pengorbanan yang luar biasa.
Kita berjalan membawa bekal, membawa beban moral, membawa amanat yang harus diemban untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Amanat yang sangat mulia berada di pundak kita, wasiat kepercayaan masyarakat untuk mencetak sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing berada di tangan kita.
Untuk itu, menoleh ke belakang bukanlah sekadar melepas lelah atau merasa bangga karena sudah menorehkan deretan prasasti yang panjang, tetapi mengevaluasi diri untuk menata langkah ke depan yang lebih baik, lebih rapi, lebih fokus dan mantab.
Langkah demi langkah kita lewati, mulai rintisan awal tahun 1908 (Kebangkitan Nasional) sampai saat ini (2022) sudah 114 tahun kaki menapak.
Ribuan sarjana telah dicetak, puluhan ribu karya ilmiah telah dilahirkan, ratusan teknologi terapan telah diciptakan, guru besar-guru besar telah dinobatkan.
Buku-buku ilmiah telah diterbitkan, media komunikasi telah dibentangkan, dan yang tak kalah pentingnya adalah sikap mental dan perilaku organisasi telah tergalang kuat sehingga membentuk sebuah sistem yang kokoh dan dinamis.
Begitulah gambaran langkah kaki yang menggores di atas lautan pasir sebagai agenda sejarah perguruan tinggi Indonesia.
Budi Utomo adalah Kebangkitan Nasional kita, yang terus menapaki jalan penuh harapan ke depan.
Jalan yang penuh tantangan globalisasi, sebuah era kesejagatan yang menuntut cepatnya informasi, cepatnya sikap dan tindakan untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi di masa depan.
Perubahan cuaca yang tidak menentu dan sangat cepat dalam perjalanan merupakan gambaran bagi kita tentang perlunya kesigapan dalam melangkah. Segala keperluan, baik yang bersifat antisipatif maupun yang konstruktif harus kita siapkan.
Tantangan semakin hari bukanlah semakin ringan, tetapi semakin berat dan “berbahaya”. Jangan sampai kita tergelincir dan jatuh di saat-saat mendaki puncak kejayaan.
Di sini dibutuhkan perangkat mental yang ulet, kesabaran yang tinggi, inovasi tiada henti, berpikir kritis, dinamis, perencanaan yang cermat, evaluasi berkala, sarana berteknologi canggih, semuanya saling bersinergi membentuk power totality.
Apa yang kita lakukan dalam setiap langkah haruslah bermakna. Memiliki nilai kehidupan yang dapat dirasakan, diamati, dilakukan, disikapi, dan berdampak positif dalam menumbuhkembangkan masyarakat sipil yang kuat.
Kita masih ingat pesan seorang filsuf John Friedmann (1929-1999) “Sebuah negeri bisa menciptakan demokrasi politik dalam waktu 6 bulan, dan bisa membangun ekonomi pasar selama 6 tahun, tetapi untuk menumbuhkan masyarakat sipil yang kuat dibutuhkan waktu 60 tahun”.
Pesan ini memberi inspirasi kepada kita bahwa langkah ke depan masih panjang untuk membentuk masyarakat sipil yang kuat, cerdas, dan berdaya saing.
Mari kita bercermin sejenak, di tengah lelahnya perjalanan panjang, masihkah wajah kita seperti yang kemarin? Ataukah sudah kumuh dan kusam karena hempasan angin dan debu, dengan rambut yang kumal dan kusut? Atau sebaliknya, kita semakin segar dan berbinar menyambut datangnya matahari pagi dan tersenyum lega mengantar matahari tenggelam?
Untuk menjawabnya perlu satu program penyegaran yang perlu digulirkan. Salah satunya adalah mengaktifkan ikatan alumni. Kita akan bertemu dengan berpuluh ribu wajah yang dulu pernah mengenyam pahit-getirnya dan manis-asinnya belajar di universitas yang kita cintai.
Itulah cermin kita, wajah-wajah yang sukses dalam karir, keluarga, bisnis, dan pengabdian masing-masing kepada bangsa dan negara. Bung Karno pernah berpesan: “Jangan bertanya `apa yang diberikan negara kepada saya`, tetapi bertanyalah` apa yang sudah saya berikan kepada negara`?”
Itulah akhir sebuah catatan kecil perjalanan yang harus diakui secara jujur, bahwa ini belum apa-apa. Masih panjang jalan membentang di depan sana yang harus kita tempuh dengan semangat yang semakin meningkat.
Lalu apa lagi yang bisa kita abdikan kepada bangsa ini? Tapak-tapak langkah kita menjadi jawabannya.
Dr. Aries Purwanto, M.Pd. adalah dosen Program Pascasarjana IAI Al-Khoziny, dan Sekretaris Umum Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).
Telah diterbitakan https://nusadaily.com/opinion/power-totality-kebangkitan-nasional.html