Dalam dunia manajemen pendidikan kita dikenalkan pada 4 tahapan manajerial pendidikan. Mulai dari (1) planning; (2) organizing; (3) actuating; dan (4) controlling. Keempat komponen tersebut merupakan sebuah sistem yang harus bersinergi dan saling menguatkan.
Apabila salah satu kompanen tersebut lemah atau bahkan hilang, maka pencapaian tujuan akan terhambat. Setiap awal kegiatan, harus selalu diawali dengan perencanaan yang baik, penuh pertimbangan dan logika-logika yang kontekstual.
Perencanaan yang baik harus mempertimbangkan prinsip-prinsip: sistematis fleksibilitas, kontinuitas, aplikabilitas, kontekstualitas, relevansi, dan komprehensif serta berorientasi kepada tujuan. Untuk mencakup itu semua diperlukan sebuah penelitian yang terus-menerus secara longitudinal.
Dari sinilah perubahan dimulai, sebuah perubahan yang memang direncanakan sesuai dengan tuntutan jaman dan perkembangan dunia. Bukan semata-mata perubahan untuk “mencari warna” supaya kelihatan beda.
Ini pemikiran kerdil yang bersifat sesaat dan tidak memenuhi prinsip kontinuitas maupun relevansi. Hal-hal yang bersifat actual akan selalu muncul dan harus diimbangi dengan sikap, tindakan, serta wawasan yang adaptif.
Ada fenomena yang unik, bahwa “ganti menteri ganti kurikulum”. Janganlah fenomena ini dibiarkan memporakporandakan pendidikan negeri ini. Perubahan bukan atas dasar “siapa menterinya”, tetapi secara periodik dan adaptif memang harus berubah. Atas dasar hasil penelitian dan kerja analisis yang cermat dari berbagai aspek kehidupan.
Sekilas perubahan kurikulum kita mulai dari tahun 1965- 1971 (kurikulum berorientasi pada materi); 1971–1974 (berorientasi pada tujuan); 1975-1978 (Berorientasi pada Tujuan dan Isi); 1978-1984 (berorientasi pada proses); 1984-1987 (Berorientasi pada keaktifan siswa, CBSA).
1987-1994 (berorientasi pada konteks); 1994-1998 (berbasis pada kompetensi, KBK); 1988-2003 (berorientasi pada tingkat satuan pelajaran, KTSP); 2004-2008 (berorientasi pada kompetensi, KBK).
2008-2013 (berorientasi pada tingkat satuan pelajaran, KTSP); 2013 – 2021 (berorienasi pada karakter dan dunia kerja?). Kurikulum Prototipe, (2022) Merdeka Belajar berotientasi pada project base learning. Ada proyek yang harus digarap untuk menbentuk pengalaman nyata.
Persoalan yang mendasar dalam merombak Indonesia adalah memahamkan para guru yang menerapkan kurikulum. Di samping itu juga peserta didik yang harus bersama-sama guru menggunakan kurikulum. Penyusunan kurikulum pendidikan di negeri ini tidak terlepas dari system politik yang berlaku.
Sebentar lagi dapat dipastikan, bahwa menteri pendidikan agan diganti. Sementara itu di tahun 2014 ini baru dikenalkan (disosialisasikan) kurikulum 2013, yang rencananya penerapannya dimulai tahun 2015. Apakah ada jaminan “Tidak akan lahir kurikulum baru 2022?“
Hal ini berarti akan menggugurkan kurikulum 2013 yang masih “prematur”. Visi dan misi pendidikan kita yang dicanangkan oleh presiden baru akan merombak kurikulum yang baru dilegalisasi. Menteri pendidikan yang baru akan membuat gerakan yang “sangat berbeda” dengan yang sudah ada.
“Indonesia Mendidik” menjadi icon pendidikan kita. Konsepnya yang ingin menyentuh seluruh rakyat dengan esensi mendidik, yaitu kasih sayang. Menghilangkan kekerasan, ketegangan-ketegangan, dominasi kelompok, dan persebaran yang tidak merata hanya karena faktor geografis, dan sebagainya.
Pedoman penyusunan kurikulum dan penilaian hasil belajar berdasarkan SK. Mendiknas RI Nomor 232/U/2000 akan segera diganti dengan yang baru. Kalau dulu mengacu SK Mendiknas RI Nomor 045/U/2002 yang kurikulum intinya berorientasi kepada pembentukan kepribadian, penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan, kemampuan berkarya, sikap dan perilaku berkarya, dan pemahaman kaidah kehidupan bermasyarakat.
Sedangkan belajar untuk mengetahui (learn to know), belajar untuk berbuat (learn to do), belajar untuk menjadi sesuatu (learn to be) dan belajar untuk hidup bersama (learn to life together). Perubahan terjadi dalam dua sisi, yaitu kondisi global dan perubahan paradigma.
Perubahan kondisi global menuntut adanya: persaingan, persyaratan kerja yang terstandard, dan perubahan orientasi. Sementra itu paradigma pun berubah: pengetahuan yang diperlukan, proses belajar-mengajar, yang menuntut berubahnya kurikulum.
Dengan demikian akan terjadi perubahan perilaku pemnbelajaran, yang pada akhirnya meningkatkan mutu lulusan pendidikan. Jadi tidak hanya menuntut bagaimana guru mengajar dengan baik, tetapi juga bagaimana siswa belajar dengan baik, sehingga kedua-duanya bersinergi secara alamiah menghasilkan produk yang unggul, lulusan yang berdaya saing tinggi. Mampu menciptakan dan mengelola dunia kerja. Tidak hanya menjadi “kuli” di negerinya sendiri.
Kemanakah orientasi kurikulum kita selanjutnya, sehingga tidak hanya menciptakan “kuli-kuli” yang berdaya saing rendah, bahkan takut bersaing? Kita tunggu para pemikir-pemikir negeri ini yang baru akan dibentuk dan akan dilantik.
Haruskah karakter bangsa ini berubah sesuai perubahan peradaban dunia? Ataukah kita pertahankan dan kita hidupsuburkan jiwa-jiwa besar para pejuang pendahulu kita? Ataukah jiwa-jiwa kerdil yang ditanamkan kolonial Belanda yang harus dipupuk dalam diri generasi kita? Marilah kita lihat kurikulum yang akan dating yang mampu merombak negeri ini.
Di era transisi secara politis ini, kita dihadapkan pada beberapa pilihan dan harapan yang masih dalam penantian. Visi dan misi Presiden Jokowi seakan-akan memberikan angin segar dalam dunia pendidikan, tetapi di sisi lain kurikulum 2013 terus saja disosialisasikan dan dicanang-canangkan.
Sudah yakinkah kita bahwa kurikulum 2013 ini akan ditindaklanjuti? Inilah kegamangan langkah kaki kita saat ini. Seandainya saja, tiba-tiba muncul kurikulum baru yang bernama “Kurikulum Prototipe (2022)”, lalu mau dikemanakan kurikulum 2013? Merdeka belajar memberi kesan bahwa sebelumnya kita “TIDAK MERDEKA”.
Bukan hal mustahil kalau tradisi politik negeri ini memunculkan kenyataan tersebut. Sementara itu pemahaman terhadap kurikulum 2013 belum sepenuhnya dikuasai. Di sisi lain akan muncul “policy maker” yang baru dengan “gaya” dan “karakter” yang berbeda.
Tentu hal ini akan membuat lagkah-langkah kita ke depan menjadi gamang dan “agak menunggu”. Dalam masa-masa seperti ini, kita harus semakin banyak belajar dan mempersiapkan ide-ide kreatif untuk menyongsong segala kemungkinan yang akan terjadi.
Belajar dan belajar, baik belajar dari pengalaman langsung, dari para guru kita, dari keluarga, masyarakat yang semuanya dapat kita jadikan sebagai sumber belajar. Hasil-hasil penelitian dari berbagai negara maju akan memberikan inspirasi dan referensi berpikir kita.
Pada akhirnya kita tetap melangkah maju, melangkah ke depan menuju masa depan bangsa yang lebih baik. Mari melangkah, sumbangkan pemikiran, tenaga, waktu, dan segala yang kita punya melalui dunia pendidikan. Dengan demikian pendidikan kita bisa memandu langkah-langkah kemajuan di negeri yang kita cintai in. Sekecil apa pun yang kita lakukan untuk kebaikan adalah kontribusi kita buat Negara.
Janganlah kita terlibas kelakar di medsos yang menyandingkan K.13 dengan K.Merdeka (2022) hanya “pergeseran istilah”, tanpa menyentuh esensi perubahan. Bahan renungan kita: Promes menjadi Prosem, silabus – ATP, KI – CP, RPP – Modul ajar, KD – TP, KKM – KKTP, IPK – IKTP, PH – Sumatif, PAS – SAS, dan seterusnya. Masih banyak pergeseran istilah (penamaan) yang esensinya sama saja. Inilah Perombakan Indonesia Raya. (***)
Dr. Aries Purwanto, M.Pd. adalah dosen Pascasarjana IAI Al-Khoziny Sidoarjo, dan Sekretaris Umum Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).
Telah diterbitkan di https://nusadaily.com/opinion/merombak-indonesia-melalui-kurikulum-pendidikan.html