Fenomena yang terjadi di jagad raya ini tidak lepas dari sebuah hukum yang namanya kausalitas, sebab-akibat. Dalam setiap peristiwa selalu diawali dengan sebab-sebab tertentu sehingga melahirkan akibat-akibat baru.
Khusus di Indonesia, hukum ini sangat marak. Pihak-pihak terkait selalu mendiagnosis dengan mencari penyebab-penyebab terjadinya sebuah peristiwa. Peristiwa sangat beragam bentuknya, mulai dari bencana alam, kecelakaan, kriminalitas, dis-integrasi, penurunan mutu pendidikan, kemiskinan, kematian, dan sebagainya.
Semua peristiwa tersebut selalu dilacak penyebabnya, meskipun kausalitas ini kadang-kadang justru membuat kita berpikir mundur dan stagnan. Pada saat peristiwa membutuhkan penanganan lanjut, kita disibukkan dan lelah mencari penyebabnya, akhirnya tindakan penyelesaian tidak dilaksanakan.
Dalam sunatulloh memang dijelasknan bahwa semua kejadian pasti ada penyebabnya. Variasi sumber penyebab dan rentang waktu yang panjang, sering kali kita terjebak pada penelusuran yang melelahkan. Dengan demikian perlu sikap bijak dalam menghadapi fenomena alam.
Pola sebab-akibat yang berantai panjang dan melelahkan tidak selamanya menguntungkan. Ada kalanya hukum kausalitas tidak harus diterapkan dalam berbagai peristiwa.
Di saat Situ Gintung jebol dan banyak rumah hanyut para pejabat sibuk mencari penyebab “mengapa jebol?”, “Siapa yang salah?”, dan penyiapan hukum bagi yang dianggap salah. Jumbatan Suromadu “ambrol”, kita sibuk mencari “siapa yang salah”.
Sementara itu langkah-langkah pertolongan terhadap korban bergerak lambat sehingga memperparah keadaan korban. Upaya mencari “kambing hitam” terasa lebih dominan dalam masyarakat kita dibandingkan dengan “action” rehabilitasi yang realistis.
Munculnya kata pepatah “No Smoke without Fire” ini memperkuat dukungan terhadap kaum kausalitas. Teori yang digunakan adalah Teori Conditio sine qua non yang dikemukakan oleh Von Buri.
Ajaran tentang kausalitas yang secara literal berarti syarat mutlak adanya penyebab dari sebuah akibat. Logika lenear yang mereka bangun, bahwa “tidak ada asap tanpa api”.
Jadi semua peristiwa yang terjadi pasti ada penyebabnya. Mereka lupa bahwa Sang Maha-Sutradara bisa bertindak apa saja di luar logika ilmu pengetahuan manusia.
Belajar dari peristiwa alam itu bagus, belajar dari kesalahan itu mantap, belajar dari kekalahan itu wajar, belajar dari kegagalan itu indah.
Satu hal yang perlu direnungkan bahwa “semua punya masanya”. Tidak ada orang yang berjaya selamanya, semua pasti mengalami zaman keemasan dan zaman keterpurukan.
Presiden Soekarno (Bapak Proklamator), Suharto (Bapak Pembangunan), BJ. Habibie (Bapak Teknologi), Abdurrahman Wahid/Gus Dur (Bapak Pluralisme), Megawati (Ibu Penegak Konstitusi), Susilo Bambang Yudhayono/SBY (Bapak Perdamaian), Joko Widodo (Bapak Infrastruktur).
Mereka memiliki keutamaan masing-masing, di samping beberapa “kelemahan” yang harus dimaklumi. Penyebab keruntuhan tidak harus dijadikan “kambing hitam”, sehingga kita tidak wajib kembali ke lorong waktu dan berkutat pada pencarian “siapa yang salah”.
Berpikir positif, bahwa esok hari akan lebih baik daripada hari ini. Apa pun yang terjadi, haruslah dipandang sebagai sebuah rangkaian alur cerita yang memang seharusnya dijalani. Fokus ke masa depan lebih baik (progresif) yang futuristic.
Seorang dokter sempat pusing karena dalam diri pasien tidak ditemukan penyakit yang menjadi “penyebab” sakit. Akhirnya pasien meninggal dunia, tanpa sebab (medis). Kasus semacam ini berkembang pesat di masyarakat, tetapi dunia medis tetap saja dikembangkan.
Di sisi lain, orang berbicara non-medis (supranatural), tetap saja diberi ruang waktu untuk menelusuri jalan kehidupan. Kompleksitas hidup menuntut multidemensi dalam memandang setiap fenomena.
Ada ratusan bahkan ribuan “dugaan” penyebab orang meningal dunia, baik yang medis, sosial, psikologis, magis, dan bencana alam.
Demikian juga sebuah kesuksesan maupun kegagalan kalau ditelusur dari penyebabnya maka akan “menguras” waktu dan tenaga. Sebagai sebuah proses kausalitas harus tetap dipelihara sebagai “hikmah” dalam melangkah ke depan.
Demikian juga dalam dunia pendidikan, banyak “kambing hitam”. Mulai dari Menteri Pendidikan (ganti menteri-ganti kurikulum), guru (baru 12% yang memenuhi standar ideal), sertifikasi (hanya untuk pencairan dana). Media, siswa, orang tua (kurang peduli pendidikan), teknologi (merusak otak anak), sampai masyarakat (dianggap apatis).
Hampir semua dicari-cari kesalahan dan menjadi penyebab menurunnya mutu pendidikan. Itu yang harus segera ditinggalkan, agar tidak mengalami stagnasi.
Kalau terus-menerus mencari kesalahan, maka justru terjadi kemunduran. Mudah-mudahan komponen negeri ini tetap dalam rel yang harmonis, bukan sekedar mencari sebab-musabab kesalahan, dan berhenti di tempat, tetapi semua berjalan seiring untuk ke depan lebih baik.
*) Dr. Aries Purwanto, M.Pd adalah dosen Pascasarjana IAI Al-Khoziny Sidoarjo dan Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI). Tulisan ini disunting oleh Dr. Dewi Kencanawati, M.Pd, Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Nusantara PGRI Kediri dan anggota Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI)
Telah diterbitkan di https://nusadaily.com/opinion/indonesia-dalam-kausalitas.html